Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". (Ali Imran:104).
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". (An Nahl:125).
وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". (Al Qashshash:87).
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". [Ali Imran:110].
Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.
Perbedaan pendapat ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
"Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan". [Maryam:71].
Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.
2). Bahwa مِنْ di sini untuk menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh (kepada yang ma'ruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama, orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama itu)”.[2]
Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan: “Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju (agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang lain yang melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan Al Qur`an”.[3]
Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena sesungguhnya setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain. Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung". [4]
Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang khusus, yakni para mujahidin dan ulama… Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu [5], dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.
Dalam satu riwayat disebutkan :
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
"Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji sawi". [6]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
"Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi kamu".
Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi mengatakan: “Hasan”.[7] Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat 104.
KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU ‘AIN?
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Dan terkadang kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada di suatu tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya".
Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah? Hanya Allah tempat mohon pertolongan. Dan mengingat begitu banyaknya kemungkaran di dunia saat ini, maka wajiblah untuk berdakwah. Dimana kita slalu temui kemungkaran. So, kalo bukan kita siapa lagi...
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Ad Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari.
[2]. Hukmul Intima’, hlm. 132.
[3]. Majmu’ Fatawa (15/166).
[4]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 16, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit Darul Wathan.
[5]. Beginilah yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, namun yang benar ialah dari Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana tersebut di dalam Shahih Muslim, no. 49, Pen.
[6]. Hadits ini bukan lafazh lain dari hadits di atas, tetapi hadits lain riwayat Muslim, no. 50, dari Abdullah bin Mas’ud, Pen.
[7]. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan, hadits ini berderajat hasan dengan seluruh penguatnya. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin (1/283), no. Hadits 193.
[8]. Yakni dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, Pen.
[9]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hlm. 17, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerbit: Darul Wathan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon