Ketika Berfatwa - Akhlaq Ulama' Salaf |
Bismillah . .
Kemajuan sistem informasi saat ini sangat memudahkan bagi setiap orang untuk mengakses berbagai hal, tak terkecuali mengakses ilmu-ilmu din. Namun acap kali ilmu yang didapatkan tersebut hanya ditelan mentah-mentah tanpa merujuknya kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman para Salafussholeh. Memang ada juga orang-orang yang belajar lewat jalan tradisional tetapi tetap masih saja memahami dengan akal pikirannya sendiri. Namun tetap saja saat ini lebih banyak orang-orang seperti itu muncul karena menkonsumsi ilmu-ilmu dari internet yang belum tentu kebenarannya ataupun memang dari situs ataupun narasumber yang sudah diakui kebenarannya, namun hanya dipahami dengan akalnya sendiri yang masih terbatas ilmunya.
Dari berbagai hal tersebut, maka muncullah yang namanya mudah berfatwa. Ataupun memutuskan suatu hukum perkara dalam agama hanya dengan ansumsinya saja. Dan alhasil banyak sekali saat ini orang-orang yang ilmunya masih sedikit, namun fatwanya seluas samudra. Hal ini sungguh sangat ironis, karena bisa saja ketika fatwa yang ia keluarkan salah, maka sungguh ia telah merubah hukum Allah. Dan merubah hukum Allah sungguh sangat berat hukumannya. Dan orang-orang tersebutpun juga bukan seorang Mujtahid, dan terkadang pula perkara yang ia hukumi bukanlah perkara-perkara yang boleh kita berijtihad di dalamnya.
Maka dari itu diamlah jika kita tidak mengetahui hukum suatu perkara sampai kita mendapatkan ilmunya. Seperti halnya yang dicontohkan oleh Ulama-Ulama Salaf ketika mereka tidak mengetahui hukum suatu perkara.
Dari Nafi’ diriwayatkan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Umar RadhiyAllahu ‘anhu tentang satu persoalan, maka beliau hanya menganggukkan kepalanya namun tidak memberikan jawaban. Orang-orang mengira beliau tidak mendengar perkataannya. Lelaki itu kembali bertanya, “Semoga Allah merahmati Anda, apakah anda tidak mendengar perkataan saya ?” Beliau menjawab, “Saya dengar. Tapi saya melihat kalian semua beranggapan bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban kita atas jawaban kita terhadap persoalan yang ditanyakan kepada kita. Biarkanlah kami, sampai kami dapat memberi jawaban atas pertanyaanmu –semoga Allah merahmatimu-, bila kami memang memiliki bahan sebagai jawabannya, maka kami akan menjawab. Kalau tidak, kami akan memberitahukan kalian bahwa kami tidak memiliki ilmu tentang hal itu.”
Ataupun sikap dari Zaid bin Tsabit RadhiyAllahu ‘anhu. Dari Musa bin ‘Ula bin Rabah, dari ayahnya diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Zaid bin Tsabit memiliki kebiasaan, apabila ditanya seseorang tentang satu persoalan, beliau bertanya terlebih dahulu, ‘Demi Allah, apakah itu benar-benar terjadi ?’ Apabila dijawab benar-benar terjadi, beliau segera menjawab persoalan tersebut. Apabila tidak, beliau tidak menjawabnya’.”
Begitulah akhlaq para Ulama Salaf dalam mnghukumi suatu perkara. Lalu bagaimana dengan kita yang ilmunya saja masih sedikit, masa mudah sekali dalam berfatwa. Sungguh hal ini sangat memprihatinkan. Mau yang belajar lewat internet ataupun lewat metode tradisional, maka jagalah lisan kita dalam berfatwa. Jawablah suatu perkara jika kita memang sudah mengetahui dan paham sesuai dengan pemahaman para Salafussholeh, bukan paham dengan akal pikiran sendiri yang terbatas ilmunya. Mari kita simak sebuah riwayat dari Suhnun Rahimahullah.
Dari Suhnun diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Sebagian dari ulama as-Salaf apabila ingin mengucapkan satu kata saja, dipertimbangkan, ya kalau berbicara niscaya banyak orang yang dapat mengambil manfaat darinya tapi ia tidak berbicara, karena takut hanya untuk pamer. Namun kalau ia sedang tertarik untuk diam, ia malah berbicara. Mereka biasa menyatakan, ‘Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya’.”
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bishowab.
Penulis : Sofian Slamet Utomo
Rujukan : Kitab Ayna Nahnu Min Akhlaqi As Salaf. Karya Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil Baha''uddin bin Fatih Uqail.
ConversionConversion EmoticonEmoticon